Dahulu di Jawa Tengah ada seorang
janda yang sudah tua, Mbok Rondo namanya. Pekerjaannya hanya mencari kayu di
hutan. Sudah lama sekali Mbok Rondo ingin mempunyai seorang anak. Tapi dia
hanya seorang janda miskin, lagi pula sudah tua. Mana bisa ia mendapatkan anak.
Pada suatu hari, sehabis mengumpulkan
kayu di hutan, Mbok Rondo duduk beristirahat sambil mengeluh,
“Seandainya aku
mempunyai seorang anak, beban hidupku agak ringan sebab ada yang membantuku bekerja.”
Tiba-tiba bumi bergetar, seperti ada
gempa bumi. Di depan Mbok Rondo muncul raksasa bertubuh besar dan wajahnya
menyeramkan. Mbok Rondo takut melihatnya.
“Hai Mbok Rondo, kamu
menginginkan anak ya? Aku bisa mengabulkan keinginanmu.” Kata raksasa itu
dengan suara keras.
“Benarkah?” tanya
Mbok Rondo. Rasa takutnya mulai menghilang.
“Benar……, tapi ada
syaratnya. Kalau anakmu sudah berumur enam belas tahun, kau harus
menyerahkannya kepadaku. Dia akan kujadikan santapanku.” Jawab raksasa itu.
Karena begitu inginnya dia punya anak
maka Mbok Rondo tidak berpikir panjang lagi. Yang penting segera punya anak.
“Baiklah, aku tidak
keberatan,” jawab Mbok Rondo.
Kemudian raksasa itu member biji
mentimun kepada Mbok Rondo. Mbok Rondo segera pulang dan menanam benih itu di
halaman belakang. Setiap hari Mbok Rondo menyirami biji mentimun itu.
Ajaib! Dua minggu kemudian sudah berbuah.
Buahnya lebat sekali. Diantara sekian banyak buah mentimun yang tumbuh, ada
satu buah yang sangat besar. Warnanya kekuningan. Kalau tertimpa sinar
matahari, buah itu berkilau seperti emas. Mbok Rondo sangat tertarik pada buah
mentimun yang besar itu. Ia memetiknya dan membawa pulang buah yang paling
besar itu.
Sesampainya di rumah, Mbok Rondo
segera mengambil pisau dan membelah buah itu. Lalu, ia membukanya dengan
hati-hati. Ajaib! Ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik!
“Ah, ternyata raksasa
itu tidak berbohong!” gumam Mbok Rondo.
“Sekarang aku punya
anak perempuan. Aduh senang nya hatiku.”
Mbok Rondo sangat gembira. Ia menamakan
bayi mungil itu Timun Emas.
Hari, bulan, dan tahun pun berganti.
Timun Emas tumbuh menjadi seorang gadis jelita. Mbok Rondo sangat menyayangi
Timun Emas. Pagi itu sangat cerah. Mbok Rondo dan Timun Emas bersiap pergi ke
hutan untuk mencari kayu. Tiba-tiba,……Bum……Bum……Bum……bumi bergetar lalu disusul
suara tawa menggelegar.
“Hai, Mbok Rondo,
keluarlah! Aku dating untuk menagih janji,” kata raksasa itu.
Gemetar seluruh tubuh Mbok Rondo,
cepat-cepat ia memeluk Timun Emas lalu membisiknya agar gadis itu sembunyi di
kolong tempat tidur. Lalu Mbok Rondo keluar menemui raksasa itu.
“Aku tahu, kedatanganmu
kemari untuk mengambil Timun Emas. Berilah aku waktu dua tahun lagi. Kalau
Timun Emas aku berikan sekarang, tentu kurang lezat untuk disantap. Tubuhnya
masih kecil.”
“Benar juga. Baiklah,
dua tahun lagi aku akan datang. Kalau bohong, kamu akan kutelan mentah-mentah,”
ancam raksasa itu.
Sambil tertawa, raksasa itu pergi
meninggalkan rumah Mbok Rondo. Mbok Rondo menghela nafas lega. Kemudian, ia
masuk ke rumah menghampiri anaknya yang masih bersembunyi di kolong tempat
tidur.
“Anakku, keluarlah.
Raksasa itu sudah pergi,” kata Mbok Rondo.
Dua tahun kemudian, Timun emas sudah
dewasa. Wajahnya semakin cantik. Kulitnya kuning langsat. Tapi Mbok Rondo cemas
jika teringat akan janjinya kepada si raksasa itu.
Pada suatu malam, ketika Mbok Rondo
sedang tidur, ia mendengar suara gaib dalam mimpinya.
“Hai Mbok Rondo, kalau
kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada seorang pertapa di bukit
Gandul.”
Esok harinya, Mbok Rondo pergi ke
Bukit Gandul. Disana ia bertemu dengan seorang pertapa. Pertapa itu memberikan
empat bungkusan kecil yang isinya biji timun, jarum, garam, dan terasi.
Mbok Rondo menerimanya dengan rasa
heran. Sang pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu.
Sesampainya dirumah, ia menceritakan
perihal pemberian pertapa itu kepada Timun Emas.
“Anakku, mulai saat ini
kamu tidak perlu cemas. Kamu tak perlu takut kepada raksasa itu, sebab kamu
sudah memiliki penangkalnya. Berdoalah selalu supaya Tuhan menyelamatkanmu,”
kata Mbok Rondo.
“Terima kasih Mbok……!”
Demikianlah hari pun berganti hari.
Hingga pada suatu ketika Mbok Rondo sedang menjahit baju untuk Timun Emas,
tiba-tiba bumi berguncang pertanda raksasa dating.
“Hmmm…raksasa itu dating
lagi rupanya.” Gumam Mbok Rondo.
Benar saja tak lama kemudian raksasa
itu sudah berada di ambang pintu.
“Ho……ho……ho……mana Timun
Emas! Ayo cepat serahkan dia padaku. Aku sudah sangat lapar!” kata raksasa
itu dengan suara menggelegar
Mbok Rondo keluar dengan tubuh
gemetar.
“Baiklah, akan aku bawa
keluar,” kata Mbok Rondo.
Ia segera masuk ke rumah. Diambilnya
bungkusan pemberian sang pertapa, kemudian diberikan kepada Timun Emas.
“Anakku, bawalah bekal
ini. Pergilah lewat pintu belakang sebelum raksasa itu menangkapmu.”
“Baiklah, Mbok,”
kata Timun Emas.
“Ingat anakku, jangan
sampai lupa pesan pertapa itu. Kau masih ingat bukan?”
“Ingat Mbok!”
“Baiklah, sekarang
cepat pergi……larilah anakku!”
Timun Emas segera berlari lewat pintu
belakang dan tidak berapa lama kemudian raksasa itu sudah memanggil-manggil
Mbok Rondo.
“Mbok Rondo, mana Timun
Emas?!” suara raksasa itu terdengar tidak sabar.
“Maafkan aku, raksasa!”
“Apa…? Ada apa?”
“Timun Emas ternyata
sudah pergi.”
“Apa kau bilang?”
geram raksasa itu.
“Maafkan aku……!”
“Kurang ajar, mengapa
kau tidak bilang sejak tadi?”
Dengan marah raksasa itu segera
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lamat-lamat dari kejauhan ia melihat
seorang gadis sedang berlari cepat di padang rumput.
“Hehehe……mau lari
kemana kau gadis kecil?”
Dengan modal tubuhnya yang besar dan
kesaktiannya, raksasa itu segera melangkahkan kakinya. Ia tidak perlu berlari
kencang. Namun langkah-langkahnya yang lebar bagaikan grak kaki kuda yang
berlari cepat. Timun Emas yang berada di kejauhan dalam tempo yang singkat
sudah hamper disusulnya.
“Walaupun lari ke ujung
dunia, aku pasti dapat mengejarmu!” teriak si raksasa itu.
Karena terus menerus berlari, Timun
Emas mulai kelelahan. Dalam keadaan terdesak, Timun emas teringat akan
bungkusan pemberian sang pertapa.
“Apa yang harus
kulakukan?” tanya Timun Emas dalam hati.
Ia teringat akan pesan ibunya. Cepat
diambilnya biji timun dalam bungkusan lalu ditaburkan disekitarnya. Sungguh
ajaib, biji timun itu langsung tumbuh dengan lebat. Buahnya besar-besar.
Raksasa itu berhenti ketika melihat buah mentimun yang terhampar dihadapannya.
“Ha……ha……ha……buah
mentimun ini akan dapat menambah tenagaku,” kata si raksasa.
Sejenak ia menatap Timun Emas yang
terus berlari kencang menjauhinya.
“Hehehe……tidak mengapa
bocah manis, larilah sekuat tenagamu. Toh nanti aku akan dapat menyusulmu.”
Lalu ia mencabuti timun-timun itu
sekalian dengan daunnya yang masih muda. Dengan rakus ia segera melahap buah
yang ada, sampai tak satupun tersisa.
“Hehehe……habis sudah……!
Sekarang tenagaku bertambah kuat! Aku
pasti dapat menangkap gadis kecil itu.”
Setelah kenyang, raksasa itu kembali
mengejar Timun Emas. Hanya dalam beberapa gerakan kaki saja ia sudah dapat
menyusul Timun Emas.
Timun Emas ketakutan, lalu ia
mengambil jarum dari kayu bambu yang dipotong kecil-kecil. Disaat yang kritis,
Timun Emas menaburkan jarum ke tanah. Dan sungguh ajaib! Jarum-jarum itu
berubah menjadi hutan bambu yang lebat. Raksasa itu berusaha menembusnya. Namun
tubuh dan kakinya terasa sakit karena tergores dan tertusuk bambu yang patah.
Tetapi si raksasa itu pantang menyerah dan berhasil melewati hutan bambu itu
dan terus mengejar Timun Emas.
“Hai Timun Emas, jangan
harap kamu bisa lolos!” seru si raksasa sambil membungkuk untuk menangkap
Timun Emas.
Dengan sigap, Timun Emas melompat ke
samping dan berkelit menghindar.
“Oh hampIr saja aku
tertangkap,” Timun Emas terengah-engah.
Keringat mulai membasahi tubuhnya. Ia
ingat pada bungkusan pemberian pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan
terasi. Ia segera membuka tali pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan
kea rah si raksasa. Seketika butiran garam itu berubah menjadi lautan.
Raksasa itu sangat terkejut, karena
tiba-tiba tubuhnya tercebur ke dalam lautan. Tapi, berkat kesaktiannya, ia
berhasil berenang ke tepian. Ia kembali mengejar Timun Emas.
Merasa dipermainkan, kemarahan
raksasa itu semakin memuncak.
“Bocah kurang ajar!
Kalau tertangkap, akan kutelan kau bulat-bulat!”
Timun emas semakain khawatir karena
raksasa itu berhasil melewati lautanyang sangat luas itu. Akan tetapi, ia tidak
putus asa. Ia terus berlari meskipun sudah kelelahan. Raksasa it uterus
mengejar.
Timun Emas melemparkan isi bungkusan
yang terakhir. Terasi itu langsung dilemparkan kea rah si raksasa. Tiba-tiba
saja terbentuklah lautan lumpur yang mendidih. Raksasa itu terkejut sekali.
Dalam sekejap, tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha
menyelamatkan diri. Ia meronta-ronta. Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya
pelan-pelan tenggelam ke dasar lautan lumpur.
“Timun Emas, tolonglah
aku! Aku berjanji tidak akan memakanmu,” raksasa itu meminta belas kasihan.
Akan tetapi lumpur panas itu menelan
tubuh si raksasa. Kini Timun Emas bisa bernafas lega karena selamat dari bahaya
maut. Ia segera berjalan kembali kearah rumahnya. Di kejauhan Nampak Mbok Rondo
berlari kea rah Timun Emas kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatan
anaknya.
“Syukurlah anakku,
ternyata Tuhan masih melindungimu,” kata Mbok Rondo setelah keduanya saling
mendekat.
Mereka berpelukan dengan rasa haru
dan bahagia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar