Senin, 29 Mei 2017

MENCARI SAYA

Di sebuah gedung sedang dipertunjukkan sebuah sandiwara. Didu ingin sekali menyaksikannya, tapi tak punya uang untuk beli karcis. Tapi ia punya akal. Dilihatnya pada papan pengumuman, di mana di sana tertulis judul sandiwara, teater yang memainkan dan sutradaranya.
Didu mendekati penjaga dan bertanya,

“Bisakah saya bertemu dengan Bang Asnan, sutradara pertunjukkan ini?”

Penjaga itu menatap Didu sebentar, lalu berkata,


“Sayalah Bang Asnan. Ada perlu apa kau?”

ALHAMDULILLAH

Hari itu merupakan hari pertama Samuel masuk sekolah. Ia baru saja tamat dari TK dan kini duduk di kelas 1 SD. Samuel dikenal nakal bukan main, bandel, dan tukang bikin rebut di sekolah.
Sepulang sekolah, Samuel melapor kepada ibunya,

“Mama, tadi pak Guru bertanya, apakah aku mempunyai adik-adik yang nanti akan bersekolah disini?”

“Oh, sungguh gembira bahwa gurumu menaruh perhatian besar terhadap keluarga kita. Lalu apakah kau katakana bahwa kau ini adalah anak tunggal?” sahut ibunya.

“Ya, sudah kukatakan……”

“Lalu, apa jawab gurumu?”


“Dia Cuma mengucap: Alhamdulillah……”

TUNGGU SAMPAI BESAR

Riana, yang baru berusia 4 tahun, disuruh ayahnya mengambil jas dan celana pesanannya di sebuah penjahit. Ayahnya berpesan,

“Katakan, nanti uangnya menyusul, akan kubayar ke sana sendiri. Biarlah celana dan jas diambil dulu, soalnya hendak segera kupakai. Kau masih terlalu kecil untuk membawa uang sebanyak itu, Riana.”

Namun beberapa saat kemudian Riana pulang dengan tangan kosong.

“Mana jas dan celananya?” tanya ayahnya.

“Belum boleh diambil, Ayah.”

“Apa tidak kau katakan kau masih terlalu kecil untuk membawa uang sejumlah itu?”


“Sudah kukatakan, Ayah. Tetapi dia berkata, bahwa biar jas dan celana disimpan di sana, sampai aku sudah besar kelak, dan boleh membawa sendiri uang ongkosnya.”

TUNGGU SAMPAI TENGAH MALAM

Hari itu ulang tahun Mama. Di rumah keluarga itu, hari ulang tahun merupakan suatu hari besar dan dirayakan seluruh keluarga. Mereka yang berulang tahun dimanjakan, mendapat hadiah dan diperlakukan istimewa.
Setelah makan malam usai, Mama segera mengemasi piring, panic, gelas, dan semua peralatan makan yang kotor ke dapur untuk segera dicuci. Saat itu muncul Endah,

“Mama, di hari ulang tahun ini Mama tidak perlu mencuci piring.”

Mama segera melepas celemeknya, dan mencuci tangannya. Endah kemudian berkata lagi,

“Nah begitu, Mama. Biarkan saja semua piring, panic, sendok dan garpu di situ. Kalau Mama mau mencuci, tunggu sampai tengah malam, setelah pukul 00.00………”


Kata Mama dalam hati, “Oh, kukira kau yang akan mencucinya……”                

NASIB GELANDANGAN

Pada suatu pagi, saat seorang ibu rumah tangga menengok keluar rumah lewat jendela, terlihat seorang gelandangan berlutut di halaman depan rumahnya yang ditumbuhi rumput. Terlihat gelandangan itu sedang memakani rumput.
Ibu rumah tangga tersebut bertanya pada Gelandangan,

“Kang, sedang apa kau disitu?”

Jawab si Gelandangan,

“Bu, aku kelaparan. Berhari-hari tidak kemasukan nasi, atau makanan lain. Jadi aku terpaksa makan apa saja yang bisa kumakan.”

Sambil selalu mengucap, “Kasihan,” ibu rumah tangga itu mengajak si Gelandangan melewati ruangan dapur menuju ke halaman belakang. Dan sambil menunjuk pada halaman belakang rumahnya yang luas, berkatalah ibu rumah tangga itu,


“Di sana rumputnya lebih tebal, Kang……”

YANG KELAPARAN

Seorang turis asing berkunjung ke sebuah desa di Skotlandia. Ia begitu kagum melihat keindahan pemandangan di desa tersebut, serta hawanya yang nyaman. Ketika sedang melintasi desa tersebut, ia bertemu dengan penduduk setempat. Rupanya kehidupan mereka tenang dan tentram. Kepada seorang penduduk setempat itu,bertanyalah wisatawan tersebut,

“Pak, apakah tempat ini nyaman didiami?”

“Benar-benar nyaman Tuan, serta sangat menyehatkan,” sahut penduduk desa itu.

“Dalam masa sepuluh tahun terakhir, hanya seorang penduduk yang meninggal dunia. Dia adalah tukang gali kubur disini, yang meninggal karena usahanya sepi, sehingga ia kelaparan dan sakit, dan akhirnya meninggal dunia.”

TIDAK MENGINTIP KOK

Suatu siang di bulan puasa, perut Didu sudah berdendang saking laparnya. Dengan mengendap-endap ia mengambil sepotong roti dari lemari makan, dibawanya kekamar.
Di dalam kamar Didu masih ragu. Ia mengunci pintu rapat-rapat. Jendela pun ditutup. Ia celingukan sebentar, dan sudah siap akan melahap roti itu ketika didengarnya sebuah suara,


“Makan saja terus yang tenang Du. Ibu tidak mengintip kok.”

BARANG GELAP

“Tetanggaku suami istri kerjanya menjual barang gelap,” cerita Kohar kepada Karma.

“Mengapa kau tak melaporkannya kepada yang berwajib?” tanya Karma.

“Tentu saja tidak, karena kami membutuhkan barang-barang mereka jual.”

“Sebenarnya apa sich yang mereka jual itu?”


“Sang suami jualan arang dan istrinya jualan cemara untuk sanggul.”

YANG ENAK

“Menurutmu, mana yang lebih enak, telur yaqng didadar atau telur yang direndang?” tanya seorang wanita kepada temannya, seorang koki disebuah restoran.

“Menurutku, kedua-duanya tidak enak.”

“Lantas, yang enak yang bagaimana?”


“Tentu saja yang dimakan.”

JANGAN DUDUK DISITU

Sehabis jogging pada suatu padi, si Didu duduk di sebuah bangku dibawah sebuah pohon. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang menegurnya,

“Hei, dilarang duduk disitu.”

Karena takut, Didu langsung berdiri sambil bertanya,

“Mengapa tidak boleh?”

“Karena saya ingin duduk disini,” jawab orang itu sambil duduk disana dengan enaknya.

Didu tidak kekurangan akal. Ia meraba pantatnya dan membaui tangannya.

“Ukh, sialan! Aku menduduki tai ayam,” kata Didu.

Orang yang tadi menipunya kontan berdiri sambil meraba-raba bagian belakang celananya. Sementara itu  Didu cepat-cepat duduk lagi disana.


“Anda ingin duduk, saya pun begitu juga,” ujar Didu

PETUNJUK JALAN

Ada seorang mantri hutan bekerja di Distrik Hutan Lampang di Thailand. Mantra hutan itu, seorang lelaki kulit putih, menanyakan dimana letak desa terdekat. Seorang penduduk pribumi menjawab,


“Tidak begitu jauh, Mister. Bayangkan saja misalnya ada seekor anjing besar melolong disini, menjauhlah ke satu arah, sampai kira-kira bunyi lolongan itu lenyap. Dari sana bayangkan ada seekor anjing kecil yang melolong, pergilah sejauh kira-kira lolongan anjing itu tidak kedengaran lagi. Nah, disanalah letak desa yang terdekat.”

SUDAH DINGIN KOK

Di sebuah rumah makan, seorang langganan mengetahui bahwa pelayan baru di rumah makan itu mengantar semangkuk bakso dengan sebagian jempolnya tercelup ke kuah. Seru si Tamu,

“Hai Bang, jempolmu masuk ke kuah bakso!”

Dengan tenang pelayan baru itu menjawab,


“Jangan cemas, Pak. Baksonya sudah dingin kok!”

SINDIRAN HALUS

Para penumpang sebuah bis luar kota, menjadi jengkel ketika bis yang mereka tumpangi mogok disebuah jalan sepi di tengah sawah. Perbaikan memakan waktu yang cukup lama, sebab kelihatannya baik sopir maupun kernet tidak tahu menahu soal mesin. Suara keluhan terdengar disana sini. Akhirnya seorang wanita bertubuh gemuk turun dan menghampiri si sopr dan berkata,

“Pak sopir, bolehkah aku memetik buah – buah jeruk sebentar disini?”

Sopir menjawab,

“Tetapi disini kelihatannya tidak ada pohon jeruk, Bu. Yang ada hanya sawah semata!”

“Jangan cemas,” lanjut wanita gemuk itu.

“Kebetulan saya tadi membawa biji-biji jeruk dari desa……”

MANFAAT BUKU

Seorang pengarang Perancis, menulis sebuah novel yang kemudian menjadi top seller. Oleh karena bangganya, segera dia memenuhi setiap kamarnya dengan buku itu. Semua pembantu rumah tangga, sanak keluarga, tetangga, diberinya masing-masing sebuah buku itu.
Pada suatu hari, dia berbincang-bincang dengan penjaga rumahnya, yang juga diberinya sebuah buku.
Tanya sang pengarang,

“Apakah bukuku sudah kau baca?”

“Sudah, Tuan. Namun belum juga selesai.”

“Tidak apa. Bagaimana pendapatmu tentang buku itu?”

“Hebat sekali, Tuan,” sahut penjaga rumah.

“Aku tidak bisa berpisah dari buku itu. Setiap kali aku lelah setelah bekerja seharian, kubuka buku Anda, dan sesaat kemudian aku terlena tidur.”

SATU – SATU

Di sebuah tempat pemakaman umum di New York, satu keluarga Amerika sedang berziarah ke makam keluarga. Mereka meletakkan karangan bunga di atas makam tersebut. Tidak jauh dari tempat mereka berziarah, ada satu keluarga Cina sedang berziarah juga di makam keluarga, dengan cungkup khas Cina. Seorang lelaki tua Cina, menaruh semangkuk nasi di atas batu nisan.
Seorang dari keluarga Amerika bertanya, setengah mengejek,

“Teman, kapan almarhum akan muncul dan memakan nasi persembahanmu?”

Sahut lelaki Cina itu,


“Kukira dalam saat bersamaan dengan almarhum keluarga Anda yang keluar untuk mencium wanginya bunga-bunga di atas nisannya……”

PERHITUNGANNYA DALAM KORAN

Setelah berhasil merampok sebuah bank, tiga perampok segera melarikan diri ke tempat persembunyian mereka di sebuah rumah terpencil di pinggir kota. Disana mereka hendak menyembunyikan uang rampokan mereka dan akan melakukan perampokan lain.
Seorang anggota perampok mengusulkan agar mereka menghitung jumlah uang hasil rampokan mereka.
Tetapi Kepala Perampok, yang lelah setelah lepas dari kejaran polisi, menjawab,


“Tak usah. Kita sudah cukup capek melakukan aksi kita. Toh jumlah uang yang kita rampok besok akan muncul di Koran!”

MIMPI BURUK

Dedi dan Dono sedang bercakap-cakap di bawah sebuah pohon pada suatu siang. Mereka membicarakan soal apa saja.

“Kemarin malam,” Dedi bercerita,
“Aku bermimpi. Mimpiku buruk sekali. Saat itu aku sedang berada di sebuah padang rumput yang luas. Tiba-tiba dari arah utara muncul seekor singa. Aku terkejut setengah mati dan bermaksud berlari ke selatan. Tapi tidak jadi, karena dari arah selatan muncul pula seekor harimau. Bersamaan dengan itu, dari arah barat dan timur muncul pula seekor serigala besar dan seekor beruang. Keempat binatang itu siap menerkamku. Aku ketakutan setengah mati, tak tahu apa yang harus kulakukan.”

“Wah, ngeri sekali kedengarannya,” seru Dono takjub.
“Kemudian apa yang terjadi?”

“Tiba-tiba Ronny, adikku, datang dan berhasil menyelamatkanku!” Dedi berseru.

“Ronny? Adikmu yang berumur dua tahun itu menyelamatkanmu?” tanya Dono tak percaya.

“Iya.”

“Bagaimana mungkin?”


“Ia membangunkan aku!”

TIDAK SALING MENENGGANG RASA

BEGITU petugas stasiun sudah membunyikan peluit panjang-panjang, lelaki tua itu buru-buru melompat masuk gerbong kereta. Diaturnya nafasnya sebentar. Hampir saja ia ketinggalan kereta api. Dia pun lalu masuk ke gerbong. Isinya kira-kira seperempatnya saja. Dia memilih tempat yang paling lega, dan duduklah dia. Temapt duduk disisinya kosong, begitu pula dua tempat duduk di depannya. Segera dijulurkannya kakinya ke tempat duduk di depannya.

Oh, betapa lega hatinya. Dia bisa bersantai, tanpa diganggu orang lain. Dia bisa tidur seenaknya nanti. Dia memang lebih suka menyendiri, tanpa campur tangan orang lain.

Seorang wanita tengah baya berjalan tertatih-tatih mencari tempat duduk. Tahu hal itu, lelaki itu menutup matanya, pura-pura tidur. Tetapi wanita itu berhenti di dekatnya, dan menggoyangkan lututnya.

“Maaf Tuan, saya ingin duduk disini,” kata wanita itu.

Dengan enggan, lelaki itu menurunkan kakinya.

Tanpa mengucap terima kasih, wanita tengah baya itu duduk dekat jendela, dan menaruh anjing pudel bawaannya di pangkuannya.

Gerak perjalanan kereta semakin cepat. Kedua orang itu duduk tanpa mengucap sepatah kata pun. Wanita itu mengamati pemandangan di luar. Sementara itu si lelaki memandang ke sekeliling gerbong mencari-cari tempat kosong lain. Tetapi tidak ada lagi tempat yang benar-benar kosong.

Wanita tengah baya itu tiba-tiba berdiri, lalu membuka jendela. Angin dingin bertiup menerpa muka lelaki itu. Tetapi wanita tengah baya itu tidak peduli. Ia serasa menikmati segarnya udara, yang memang tidak bertiup langsung ke arahnya.

Lelaki itu menutup kerah jaketnya. Ucapnya,

“Maaf Nyonya, sudikah Nyonya menutup jendela kembali? Hawanya sangat dingin sekali.”

“Tetapi aku kegerahan,” sahut wanita tengah baya itu singkat tanpa perubahannya pada air mukanya.

Sekali lagi lelaki itu memohon, tetapi tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba dia mendapat gagasan. Dikeluarkan pipanya, diisinya tembakau, dan dinyalakannya. Asapnya memenuhi ruangan, menyesakkan paru-paru yang tidak terbiasa merokok, termasuk wanita tengah baya itu.

Wanita itu berucap memohon,

“Tuan, sudikah Tuan mematikan pipa Anda? Di dalam ruangan sempit ini bau tembakau Tuan terara menusuk hidung. Paru-paruku rasanya tersekat.”

“Tersekat atau tidak, itu urusan Nyonya sendiri.”
“Fiuuu…….” dihembuskannya asap pipa kuat-kuat ke depan.

Oleh karena merasa permohonannya sia-sia, wanita tengah baya itu mencari gagasan lain. Segera dilepaskannya anjingnya. Anjing pudel itu turun ke lantai, lalu mencium-cium kaki lelaki itu. Kemudian menjilat-jilatinya, dan akhirnya menarik-narik kaos kakinya dengan gigi-giginya sampai sebagian dari kaos kakinya robek.

“Nyonya, taruh kembali anjing Anda ke pangkuan. Tidakkah Nyonya lihat dia merusak kaos kaki ku?”

“Tidak,” sahut wanita itu ketus.
“Jika boleh kukatakan, Anda adalah orang yang paling mementingkan diri sendiri yang pernah kukenal.”

“Oho, aku pun berterus terang, Nyonya lah orang yang paling tidak memperhatikan perasaan orang lain!”

Wanita tengah baya itu merasa tersinggung. Segera direbutnya pipa dari mulut lelaki itu, lalu dilemparkannya keluar lewat jendela. Lelaki itu tidak kalah gesitnya. Segera ditangkapnya anjing pudel itu dan dilemparkannya keluar lewat jendela, sambil berseru,

“Ayo kejar pipa itu!”

Suasana hening beberapa saat lamanya. Kemarahan pun lama-lama memudar. Kedua-duanya telah sadar, bahwa perbuatan yang telah mereka lakukan barusan tidak berdasarkan akal sehat. Akhirnya lelaki itu melepaskan uneg-unegnya,

“Nyonya, maafkan aku. Aku telah berbuat kurang sopan dengan menghisap tembakau di hadapan Anda. Dan melempar anjing Nyonya keluar kereta, sungguh suatu perbuatan tanpa perikemanusiaan. Semoga saja anjing Nyonya selamat.”

“Aku pun merasa menyesal, Tuan. Tidak seharusnya aku membuka jendela dalam cuaca sedingin ini. Tidak seharusnya pula kulepas anjingku untuk mengusik Anda. Dan suatu perbuatan lancang bahwa aku telah merenggut pipa Anda dan membuangnya keluar,” sahut wanita tengah baya itu.


Akhirnya kereta api tiba di tempat tujuan. Kedua-duanya turun, dan mereka bercakap-cakap sebentar sebelum keluar stasiun. Tiba-tiba terlihat sesosok tubuh mungil bergerak-gerak di kejauhan. Itulah anjing pudel milik wanita tengah baya, berlari menyusuri rel masuk ke halaman stasiun. Di mulutnya ia menggigit sepotong pipa, milik lelaki yang dibuang majikannya lewat jendela.

HELAI DAUN TERAKHIR

Banyaklah pelukis tinggal di salah satu bagian kota New York. Sebagian besar bangunan di sana sudah sangat tua, maka dari itu bagi seniman-seniman miskin sangat mudah menyewa kamar yang mereka sukai.

Sue adalah seorang wanita muda yang bersekolah seni lukis. Suatu hari, di sebuah restaurant, ia berkenalan dengan seorang pelukis wanita muda bernama Johnsy.

Mereka kemudian ternyata memiliki selera pada jenis seni yang sama, jenis makanan yang sama, dan jenis pakaian yang sama pula. Mereka pun lalu mencari kamar sewa yang sama, dan bekerja bersama-sama. Keduanya menjadi sahabat karib, dan sudah seperti kakak beradik saja.

Pada bulan November, berjangkitlah wabah penyakit pneumonia pada bagian kota tersebut. Banyak orang terserang penyakit itu, salah satu diantaranya adalah Johnsy. Dia tergolek kaku dalam kamarnya sepanjang hari, dan memandang setiap saat melalui jendela ke tembok rumah sebelah.

Suatu pagi dokter bicara dengan Sue di dalam ruangan besar saat mereka berdua saja. Dikatakan, bahwa penyakit Johnsy sudah sulit disembuhkan.

“Satu-satunya kesempatan jika ia memiliki kemauan yang besar untuk hidup,” kata dokter.
“Tapi rupanya dia tahu bahwa ajalnya sudah dekat. Aku akan melakukan usaha sebaik mungkin. Namun kupinta kau pun berusaha agar dia memiliki kembali semangat hidup yang tinggi. Bicaralah dengannya tentang pakaian musim dingin yang baru, dan tentang piknik di hutan kayu musim semi nanti. Jika dia sudah tertarik lagi dengan masa depannya, kesempatan sembuh semakin besar.”

Dokter pun meninggalkan ruangan. Kemudian Sue masuk ke kamar Johnsy, dan mulailah membuat sket dengan pena dan tinta.

Saat itulah Johnsy mengucapkan sesuatu dengan suara lemah. Sue segera menghampirinya. Mata Johnsy terbuka lebar. Dia memandang ke luar lewat jendela dan sedang menghitung sesuatu.

“Dua belas,” gumam Johnsy, dan tak lama kemudian ia meneruskan,
“Sebelas, sepuluh……, Sembilan……, delapan……, tujuh……”

Sue memandang keluar dan melihat pada tembok. Tembok itu terselimut dengan sebuah tanaman anggur tua tumbuh setengah jalan ke atas.

“Enam,” kata Johnsy beberapa saat kemudian.
“Kini mereka berguguran lebih cepat. Selama tiga hari terakhir hampir seratus telah gugur. Dan kini hanya tinggal enam helai. Nah itu gugur yang lain. Kini hanya tinggal lima helai saja.”

“Lima apa, Sayang? Jelaskan Johnsy.”

“Lima helai daun,” sahut Johnsy.
“Jika daun terakhir gugur, aku pun pasti mengikutinya. Dokter pasti telah mengatakan kepadamu bahwa aku akan meninggal tak lama lagi, bukan?”

“Jangan bicara yang bukan-bukan!” geram Sue.
“Dia katakan bahwa kau akan sembuh secepatnya.”

“Itu satu gugur lagi,” ucap Johnsy.
“Aku tahu daun terakhir akan gugur sebelum senja hari. Aku ingin tahu kapan dia akan gugur.”

“Johnsy,” panggil Sue.
“Tutup matamu dan tidurlah. Aku akan pergi dan meminta Behrman agar naik dan duduk disini sebagai modelku.”

Behrman adalah seorang pelukis miskin yang telah berusia lewat 60 tahun. Dia selalu mengatakan bahwa suatu saat kelak ia akan membuat sebuah karya lukisan agung. Saat Sue memasuki kamarnya, terlihat si Tua itu minum sendirian. Dikisahkannya tentang Johnsy dan tentang daun-daun pada pohon anggur.

“Apa!” seru lelaki tua itu,
“Apakah orang akan meninggal hanya karena sehelai daun anggur dari pohonnya? Aku tak pernah mendengar hal semacam itu. Bawa aku ke kamarnya.”

Johnsy sedang tidur tatkala kedua orang itu masuk. Hujan yang dingin sedang tercurah, disertai salju.

Keesokan paginya, Johnsy meminta Sue agar membuka tirai jendelanya, agar ia bisa melihat lagi daun daun di pohon anggur itu. Masih terdapat sehelai daun kuning pada ujung sebuah cabangnya.

“Itulah helai daun terakhir,” kata Johnsy.
“Jika dia gugur hari ini, aku pun akan mengikutinya.”

Saat malam tiba, hujan pun turut lagi disertai dengan angin topan.

Pagi berikutnya pun tiba, Sue menyingkap tirai. Daun yang sendirian itu masih tegar pada tempatnya! Johnsy memandangi beberapa saat lamanya. Kemudian berkatalah ia kepada Sue,

“Aku seorang yang tolol, Sue. Aku telah belajar dari dari daun tersebut, bahwa sungguh keliru memutuskan untuk mati. Aku ingin sehat kembali dan bisa melukis lagi.”

Dokter pun datang menengok Johnsy pada sore harinya. Sue mengikutinya masuk ke dalam ruangan besar dan bertanya,

“Apakah Johnsy memiliki harapan sembuh?”

“Ya, tentu saja, karena perawatanmu yang baik,” sahut dokter.
“Aku mau turun. Di bawah ada seorang pasien. Namanya Behrman. Dia seorang pelukis dan terkena pneumonia juga. Sakitnya parah. Tidak ada harapan sembuh baginya. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”

Saat Sue menjumpai dokter esok harinya, berkatalah dokter,

“Rekanmu kini sudah lewat masa kritis. Yang dibutuhkannya hanya makanan sehat dan perawatan. Kau telah merawatnya dengan baik.”

Pada malam harinya Sue mendatangi ranjang Johnsy.

“Aku ada berita untukmu,” ucap Sue.
“Tuan Behrman meninggal karena pneumonia di rumah sakit hari ini. Sakitnya hanya dua hari. Saat seseorang masuk ke kamarnya pada pagi hari pertama, Behrman tergolek di sana masih dengan menggunakan sepatu. Sepatu dan pakaiannya basah kuyup dan sedingin es. Tak seorang pun tahu penyebabnya.”

“Ooh, si Behrman yang malang!” teriak Johnsy.

“Lihatlah melalui jendela pada helai daun terakhir di tembok,” kata Sue.
“Kelihatannya mirip sehelai daun, bukan?”

“Mirip sehelai daun? Apa maksudmu?”


“Itulah karya agung Behrman. Saat helai daun terakhir gugur pada malam harinya, dia melukiskan sehelai daun pada bekas tempatnya.”

PEMAHAT BATU YANG SERAKAH

ADALAH SEORANG PEMAHAT batu di China Selatan yang mempunyai sifat jelek yaitu tidak pernah merasa puas akan keadaan dirinya. Meskipun ia hidup senang dengan upah yang cukup baik tetapi ia selalu iri hati pada orang lain.

Suatu hari seorang Tuan yang kaya raya bertanya padanya yang sedang memotong beberapa batu untuk dipahatnya. Ia tahu Tuan yang kaya raya itu memiliki rumah yang bagus dan mempunyai banyak pelayan. Serta mengenakan pakaian dari bahan sutera yang halus dan memakan makanan yang mahal lagi lezat. Tidak seperti keadaanku sekarang pikirnya.

Pemahat batu itu kemudian menghentikan pekerjaannya. Ia ingin menjadi seorang yang kaya raya seperti Tuan itu.

Rupanya keinginan Pemahat batu itu diketahui oleh sang Peri yang merasa kasihan padanya maka dirubahnya Pemahat batu itu menjadi orang yang kaya raya. Pemahat batu itu merasa sangat berbahagia karena sudah menjadi orang kaya seperti Tuan yang waktu itu bertanya padanya.

Kemudian datanglah pegawai penting Pemerintah ke tempat si Pemahat batu tinggal. Di jalan setiap orang menundukkan kepalanya kepada pegawai pemerintah itu dan berkata bahwa pegawai itu adalah seorang Pembesar. Pegawai Pemerintah itu melewati rumah si Pemahat batu yang sudah menjadi kaya raya. Ia ternyata tidak mau menundukkan kepalanya kepada pegawai Pemerintah negerinya.

“Mengapa musti saya?” katanya.
“Saya lebih baik darinya, dan saya memiliki uang yang banyak.”

Pegawai Pemerintah itu memerintahkan pengawalnya supaya si Pemahat batu ditangkap dan tangannya diikat dengan tali, serta dikenai denda berupa uang.

“Saya ingin menjadi seorang pegawai Pemerintah,” kata si Pemahat.

Sang Peri mendengar apa yang dikatakannya dan mengabulkan keinginannya.
Si Pemahat batu menjadi sangat sombong karena dirinya sudah jadi seorang Pegawai Pemerintah. Seluruh rakyat di daerahnya menjadi benci padanya. Tindakannya bagai seekor harimau yang siap menerkam mangsanya yang lemah. Ia mencoba adu kekuatan di antara rakyat di daerahnya, siapa yang menang berhak menerima uang darinya. Tetapi rakyat rupanya tidak suka dengan caranya, maka berbondong-bondong mereka menyerang si Pemahat dengan membawa pedang, kapak dan tongkat,

“Pukul dia! Pukul dia!”

Untung saja ia tidak di bunuh.

“Ai-yah!” pikirnya.
“Rupanya tidak mudah untuk menjadi pegawai Pemerintah, saya ingin menjadi manusia biasa saja.”

Sang Peri yang mendengar hal itu segera merubahnya menjadi manusia biasa. Setiap hari ia mengerjakan ladangnya, menanam padi dan sayur-sayuran. Ia bekerja keras dalam cuaca yang panas karena sinar terik matahari. Ia mulai berpikir bahwa matahari itulah yang mengatur sesuatunya di dunia ini. Ia memimpikan dirinya menjadi matahari, yang bisa mengatur sesuatunya di muka bumi ini.

Kini dirinya sudah menjadi matahari berkat pertolongan sang Peri yang baik hati. Sinar matahari itu begitu panasnya, hal ini sangat dirasakan oleh penghuni permukaan bumi. Segera awan menghalangi sinar matahari dan tidak terasa panas cuaca ini, karena sinarnya telah berhenti.

“Baik,” kata si Pemahat batu.
“Saya tidak pernah berpikir bahwa awan itu lebih kuat daripada matahari.”

Maka ia pun ingin menjadi awan, yang dapat menghalangi sinar matahari. Lagi-lagi sang Peri merubah dirinya menjadi awan. Kelak, angin yang kuat akan menghembuskan awan menjadi potongan-potongan kecil.

“Saya tidak mengetahui demikian kuatnya angin !” katanya.
“Saya harus menjadi angin yang kuat.”

Sang Peri menolong dan merubahnya menjadi angin topan. Rumah-rumah banyak yang roboh demikian pula pohon-pohon pada tumbang karena hembusan angin tersebut. Beberapa kapal dihembusnya hingga sampai daratan. Walaupun demikian, tiba-tiba ia berhenti berhembus dikarenakan oleh sebuah karang yang maha besar. Ia tidak dapat bergerak dari karang itu.

“Saya tidak berpikir kalau karang yang maha besar dapat lebih kuat daripada sesuatunya,” pikirnya.

Segera sang Peri menjadikannya sebuah karang yang besar. Kemudian beberapa orang pemahat batu datang dan mulai memahatnya.

“Tolonglah saya!” si Pemahat batu yang serakah menangis kepada sang Peri.

“Saya tidak dapat berbuat lebih banyak,” jawab sang Peri.
“Lebih baik kau kembali menjadi seorang pemahat batu.”

Akhirnya ia menjadi pemahat batu seperti dulu lagi.


Sejak saat itu, ia bekerja keras dan selalu menghemat uangnya. Ia menjadi terkenal di negerinya dan dihormati setiap orang.

MENGASAH BATANGAN BAJA

Seorang murid yang sedang membolos dari sekolah, melihat seorang wanita tua yang tengah mengasah batangan baja. Tampaknya pekerjaan itu amat menarik perhatiannya, mqakqa bertanyalah ia, untuk apa itu dilakukannya.

“Saya mengasah baja ini untuk membuat jarum, dengan itu saya akan dapat menjahit baju.”

“Tetapi batangan baja itu begitu besar, bagaimana ibu dapat mengasahnya hingga menjadi jarum?” kata anak itu dengan heran.

“Tidak peduli,” sahut perempuan tua itu.
“Sekarang aku asah, esok hari aku asah, esoknya akan aku asah lagi. Demikian esok kemudiannya, dan esoknya lagi. Batangan ini akan menjadi makin kecil dan halus. Dan suatu hari pasti akan datang saatnya ia menjadi jarum.”


Anak murid itu diam tersipu. Sejak itu ia tidak pernah membolos dari sekolahnya lagi.

MAKSUD MEREKA SAMA

Empat orang lelaki bersama-sama melakukan perjalanan ke sebuah kota yang jauh. Seorang berkebangsaan Turki, yang kedua orang Persia, yang ketiga orang Arab, dan yang keempat orang Yunani.

Tidak seorang pun memahami bahasa rekannya. Namun demikian mereka merasa gembira karena bisa pergi bersama, sebab pergi sendirian saat itu sangat berbahaya. Mereka saling berhubungan melalui isyarat. Kadang – kadang mereka berusaha memperjelas maksud mereka dengan menggambarkan sesuatu di pasir.

Namun lama-lama mereka sedih juga karena mereka tidak bisa bercakap dengan bebas. Untung mereka bersua dengan pengelana kelima, yang sama-sama hendak menuju ke kota yang sama. Orang itu seorang Sufi, yaitu seorang pendeta dari suatu aliran kepercayaan tertentu.

Sufi itu mengetahui semua bahasa rekan-rekannya. Keempat pengelana itu dengan senang hati mengajak Sufi bergabung dengan mereka. Sufi itu pun gembira karena memperoleh teman. Mereka terus melanjutkan perjalanan. Sufi itu menterjemahkan percakapan rekan-rekannya, dan mereka pun kini bisa bercakap-cakap dengan bebas.

Pada suatu hari, pada saat mereka memasuki pintu gerbang kota, Sufi itu pergi sendirian sebentar. Sore harinya baru Sufi itu tiba kembali bergabung dengan mereka. Betapa kagetnya ketika dilihatnya keempat rekannya saling bertengkar.

Mereka telah kehabisan seluruh bekal uangnya. Yang tinggal hanya sekeping uang perak saja. Mereka bertengkar tentang apa yang akan dibeli dengan uang itu.

 “ Uzum, “ seru orang Turki,
 “ Tidak, tidak, angur! “ sahut orang Persia,
“ Inab, “ ujar orang Arab.
“ Stafil, “ sambung orang Yunani.

Sufi itu kemudian meminta uang perak itu dan pergilah ia ke sebuah warung terdekat. Katanya kepada si penjual,

“Empat ikat anggur, Nyonya.”

Kemudian ia memberi kepada masing-masing pengelana seikat buah anggur.

“ Uzum, “ kata orang Turki dengan gembira. Dengan muka berseri dirasakannya sebuah anggur.
“ Angur, “ sahut orang Persia dengan puas.
“ Inab, “ kata orang Arab sambil menunjuk pada buah-buah anggur.
“ Stafil, “ gumam orang Yunani, mulutnya berdecak-decak merasakan nikmaynya buah yang dilahapnya.

Sufi itu menjelaskan,


“Teman-teman, apa yang kqalian butuhkan adalah benda yang sama. Namun kalian menyebutnya dengan nama yang berbeda. Nah, mengapa kalian harus bertengkar jika tidak tahu pasti apa yang dimaksudkan rekan-rekan kalian? Janganlah kalian terburu nafsu.”

RAJA BONGSU

Ketika Raja Shah Jabar wafat, kedudukkannya digantikan oleh anak sulungnya, Raja Shah Johan. Maka waktu itulah Raja Shah Azam yang lebih terkenal dengan nama panggilan Raja Bongsu, merasa bahwa telah tiba waktunya untuk ia pergi mengembara. Ia pun mendapatkan kakaknya untuk minta diri.

“Kapan kau akan pergi?” tanya Raja Shah Johan.

“Besok pagi-pagi sekali.”

“Kalau begitu niatmu, tentu saya tidak bisa menghalangimu. Pergilah dan jangan terlalu lama meninggalkan kerajaan. Doaku selalu menyertaimu,” ujar Raja Shah Johan.

Keesokan paginya, Raja Bongsu pun sudah siap dengan perahunya di pantai. Banyak sobat kenalan yang mengantarnya. Mereka semua bersedih hati sebab tidak tahu kapan Raja Bongsu baru akan kembali.

“Kemana kau hendak pergi?” ujar mereka.

“Saya hendak belajar kepada orang bijaksana yang tempatnya amat jauh dari sini. Ia tinggal di sebuah pulau pada sebuah danau yang besar.”

Sesudah mendayung perahunya berhari-hari, akhirnya Raja Bongsu pun melihat pulau itu. Ia mendaratkan perahunya di pantai. Ketika itu ia melihat ada seekor ikan yang hampir mati di atas pasir. Ikan itu hampir tidak bisa di tolong lagi. Tetapi Raja Bongsu tetap mengangkat juga ikan itu dan memasukkannya ke dalam air. Dan tiba-tiba saja ikan itu berbicara,

“Terima kasih, kau telah menyelamatkan hidupku.”

Lalu dari mulut ikan itu mengeluarkan sebuah mustika ikan dan diberikannya kepada Raja Bongsu.

“Cuma ini yang bisa aku berikan kepadamu. Apabila kau berada dalam bahaya, gosoklah mustika ini ke tanganmu. Saya akan segera datang menolongmu.”

Lalu ikan itu pun lenyap.
Sesudah Raja Bongsu menambatkan perahunya dan menyembunyikannya di semak-semak, Raja Bongsu berjalan-jalan menyelidiki pulau tersebut. Tidak berapa lama kemudian, ia melihat sebuah rumah yang bagus dan besar. Rumah itu sangat indah, seperti yang belum pernah ia melihatnya. Matahari seperti bersinar dari atas gentengnya. Dan dinding-dinding nya bercahaya keemasan. Pintu-pintu dan jendelanya amat besar-besar, sehingga Raja Bongsu segera tahu bahwa itu tentu rumah seorang raksasa. Dan benarlah! Seorang raksasa yang amat besar sedang berdiri dibawah sebuah pohon memperhatikannya.

“He ! Apa keperluanmu datang kemari? Dan siapakah kau?” tanya raksasa itu dengan suaranya yang bagaikan Guntur.

“Saya datang untuk bekerja kepadamu,” sahut Raja Bongsu tak gentar.

“Ha ha ha! Bagus! Saya akan memberimu pekerjaan. Pertama-tama, ambillah sapu ini dan sapulah halaman ini. Jangan sekali-kali kau masuk ke dalam rumah. Saya akan segera pergi, tapi juga akan segera kembali!”

Begitu raksasa itu pergi, segera Raja Bongsu masuk ke dalam rumah. Ia begitu terpesona melihat keindahan rumah sang Raksasa. Hampir semua perabotannya terbuat dari emas dan perak. Ia membuka semua pintu untuk melihat apa isinya. Dan ketika ia membuka sebuah pintu di dekat dapur, ia melihat seorang gadis yang amat cantik. Gadis itu tengah bekerja membuat uang emas.

“Siapa namamu?” tanya Raja Bongsu.
“Dan kau datang dari mana?”

“Namaku Putri Melor Di-awan. Ayahku Raja Gentara Alam yang berkuasa di sebelah utara danau ini. Tapi raksasa itu telah menangkapku ketika saya sedang bermain di danau dengan budakku.”

“Kalau begitu, kenapa kau tidak melarikan diri?”

“Mana bisa! Budakku sudah dimakannya, tinggal saya sendiri. Ia mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Sehingga kalau kita melarikan diri, segera ia dapat menangkapnya. Ia cuma dapat dikalahkan kalau ia sedang tidur.”

“Baiklah kalau begitu, saya akan menyapu halaman dulu.”

“Tunggu dulu. Kau harus tahu, bahwa betapa pun kau sapu, namun halaman itu takkan pernah bersih. Tapi jika kau balikkan sapu itu menghadap ke atas, nanti semua sampah akan terbang.”

Raja Bongsu dan Putri Melor Di-awan kemudian membuat rencana untuk melarikan diri nanti kalau rakasasa sudah tidur. Putri Melor Di-awan menunjukkan Raja Bongsu tempat dua ekor kuda ditambatkan, di belakang rumah.

Ketika mereka sedang asyik mengatur rencana itu tiba-tiba terdengar langkah sang Raksasa dari jauh. Segera Raja Bongsu mulai menyapu. Tentu saja dengan batang sapu yang menghadap ke atas, sehingga dalam sekejap halaman sudah bersih.

“Ho! Ho!” gelak sang Raksasa.
“Kau sangat pintar. Besok akan saya kasih pekerjaan yang lain yang tentu saja lebih sukar.”

Lalu ia menyuruh Raja Bongsu pergi. Ia sendiri mau tidur.
Ketika ia sudah tidur itu, segera Putri Melor Di-awan keluar dari tempatnya dan bersama-sama dengan Raja Bongsu melompat ke atas kuda lalu melarikan diri ke pantai. Tidak berapa lama kemudian mereka sudah berada di atas perahu yang di kayuh oleh Raja Bongsu, menjauh dari pulau itu. Tapi segera mereka mendengar suara langkah sang Raksasa.

Kemudian raksasa itu sudah berada di tepi pantai, lalu melempari mereka dengan batu-batu. Untung batu-batu itu tidak mengenai sasarannya. Tapi kini raksasa itu memukul air dengan pohon-pohon kayu yang besar. Air menjadi bergelombang, dan perahu Raja Bongsu terancam tenggelam. Raja Bongsu menjadi sangat panik. Tetapi segera ia teringat pada mustika yang diberikan ikan padanya. Segera ia menggosoknya dan muncullah ikan tersebut.

“Tolong! Tolong!” teriak Raja Bongsu dan Putri Melor Di-awan.

Ikan itu lalu menyelam dan menghampiri sang Raksasa lalu menggigit kakinya dan menariknya ke dalam air sampai ia tenggelam.

Maka Raja Bongsu dan Putri Melor Di-awan segera pulang ke tempat Raja Bongsu, dimana kakaknya Raja Shah Johan tengah menantinya. Lalu Putri Melor Di-awan dilamar untuk menjadi istri Raja Bongsu.


Sesudah menikah, mereka akan tinggal di rumah sang Raksasa yang kini telah menjadi milik mereka berdua.

TERSEBARNYA AKAL SEHAT

Akal sehat adalah anugerah Dewa. Kini orang mengenal akal sehat. Sebenarnya hal itu terjadi karena suatu peristiwa yang tidak disengaja menimpa Laba-laba.
Pada saat bumi masih baru, Nyame, sang Dewa Langit, memberikan semua akal sehat di dunia kepada Laba-laba. Tentu saja Laba-laba berusaha memilikinya sendiri. Akal sehat itu dimasukkannya ke dalam sebuah belanga tanah liat besar dan ditutup rapat-rapat.

“Sungguh bahagia aku memiliki semua akal sehat di dunia,” kata Laba-laba dalam hati.
“Suatu saat kelak aku akan menjadi seorang raja, karena aku satu-satunya mahkluk yang memiliki akal sehat. Aku harus menyembunyikannya rapat-rapat, dimana tidak seorang pun bisa menemukannya.”

Laba-laba berlari menyusuri hutan sekuat kedelapan kaki-kakinya bisa membawanya. Dia mencari sebuah tempat untuk menyembunyikan belanga berisi akal sehat.

“Kau hendak ke mana?” tanya Kura-kura.

“Hai, ke mana kau?” seru Kelinci.
“Kenapa kau berjalan tergesa-gesa?”

Tetapi Laba-laba tidak menjawab. Dia meneruskan larinya, mencari sebuah tempat untuk menyembunyikan akal sehat.

“Ya, aku tahu tempat sembunyi yang paling aman,” katanya dalam hati.
“Aku akan menyembunyikannya di puncak pohon tertinggi di hutan ini.”

Akhirnya Laba-laba menemukan pohon tersebut, yaitu sebuah pohon kapas besar. Akar-akarnya menonjol ke permukaan tanah, cukup besar untuk menyembunyikan seekor gajah. Batangnya yang sebesar bukit, cukup luas untuk tinggal Laba-laba bersama keluarganya. Pada bagian puncak, cabang-cabangnya melebar seperti sebuah payung, dan diselimuti dengan daun-daun lunak berwarna keperakan, serta buah-buah kapas mirip kabut tipis.

“Disini tempat paling baik untuk menyembunyikannya,” kata Laba-laba dalam hati.
“Tidak ada mahkluk lain yang bisa memanjatnya, karena tidak ada cabang-cabangnya di dekat tanah.”

Maka kembalilah Laba-laba ke tempat di mana dia meninggalkan belanga berisi akal sehat. Dibawanya benda itu ke kaki pohon besar tersebut. Namun ternyata pohon kapas raksasa itu sangat sulit di panjat.

Laba-laba memiliki kaki lebih banyak dari mahkluk-mahkluk lain di dunia. Manusia hanya memiliki dua kaki, binatang memiliki empat kaki, sedangkan dia memiliki delapan kaki. Karena itu dia percaya dengan kemampuan dirinya.

Laba-laba mengikat belanga tersebut mengitari lehernya dengan seutas tali yang kuat. Belanga itu bergelantungan tepat didepan tubuhnya. Kemudian bersiaplah dia untuk memanjat. Ditaruhnya kedua kaki paling depan melingkari batang pohon sejauh-jauhnya. Ditaruhnya kedua kakinya yang berikut mengitari bagian dasar belanga, serta kedua kaki belakang di bawah belanga. Laba-laba menyeret tubuhnya dengan kedua kaki paling atas, mendorongnya dengan kedua kaki paling bawah, serta mencengkeram belanga itu dengan keempat kaki tengah. Tetapi belanga itu sangat berat! Bukankah isinya akal sehat yang ada di seluruh dunia?
Sedikit demi sedikit tubuh Laba-laba naik. Dia merasa sangat senang, tetapi tiba-tiba tubuhnya merosot cepat ke bawah dan jatuhlah ia kembali ke tanah.
Laba-laba tidak patah semangat,

“Bukankah aku memiliki kaki delapan?” katanya dalam hati.
“Tidak mungkin aku tidak bisa memanjat pohon tersebut.”

Maka Laba-laba mencoba memanjatnya kembali. Dipeluknya batang pohon itu erat-erat, dan dia menyeret dan mendorong tubuhnya sekuat-kuatnya. Belanga itu sangat berat, dan kedua kaki bagian bawahnya tidak kuat menahan beban tersebut. Kali ini pun nasibnya tidak lebih mujur dari usaha yang dilakukan sebelumnya. Tubuhnya dengan suara berdebum jatuh kembali ke tanah. Hati Laba-laba menjadi panas. Dia menjadi kesal dan marah!
Maka dia pun berusaha lebih keras memanjatnya, namun selalu hal yang sama terjadi.
Laba-laba kelelahan, dan duduklah ia di bawah pohon itu dengan muka murung. Sementara itu, diam-diam Kuma, anak sulung Laba-laba, mengamati perbuatan ayahnya sejak dari semula. Segera didatanginya ayahnya, dan berkatalah Kuma,

“Ayah, aku memiliki akal. Gantunglah belanga itu di punggung ayah, bukan di depan tubuh ayah. Dengan demikian pasti ayah bisa memanjat pohon itu.”

Mendengar perkataan Kuma, Laba-laba menjadi terkejut. Dia sadar bahwa bukan dia satu-satunya pemilik akal sehat di dunia. Hal ini membuat dia marah, dan dibantingnya belanga itu ke tanah sampai pecah berkeping-keping. Seluruh akal sehat yang berada di dalamnya bertebaran ke semua arah. Suaranya gaduh bergemerisik, membuat orang-orang datang untuk mengetahui apa yang telah terjadi, wanita-wanita tua yang pulang dari pasar, lelaki-lelaki datang dari ladang, anak-anak kecil datang dari bermain-main, serta anak-anak perempuan berlari keluar dari gubuk-gubuk bundar mereka. Pada saat mereka melihat akal sehat bertebaran keluar dari belanga, mereka berebut mengambilnya.


Akal sehat pun cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia. Baik tempat itu berada di belahan bumi bagian utara atau selatan, baik di negeri panas atau dingin, setiap orang memiliki akal sehat.