Banyaklah pelukis tinggal di salah
satu bagian kota New York. Sebagian besar bangunan di sana sudah sangat tua,
maka dari itu bagi seniman-seniman miskin sangat mudah menyewa kamar yang
mereka sukai.
Sue adalah seorang wanita muda yang
bersekolah seni lukis. Suatu hari, di sebuah restaurant, ia berkenalan dengan
seorang pelukis wanita muda bernama Johnsy.
Mereka kemudian ternyata memiliki
selera pada jenis seni yang sama, jenis makanan yang sama, dan jenis pakaian
yang sama pula. Mereka pun lalu mencari kamar sewa yang sama, dan bekerja
bersama-sama. Keduanya menjadi sahabat karib, dan sudah seperti kakak beradik
saja.
Pada bulan November, berjangkitlah
wabah penyakit pneumonia pada bagian kota tersebut. Banyak orang terserang penyakit
itu, salah satu diantaranya adalah Johnsy. Dia tergolek kaku dalam kamarnya
sepanjang hari, dan memandang setiap saat melalui jendela ke tembok rumah
sebelah.
Suatu pagi dokter bicara dengan Sue
di dalam ruangan besar saat mereka berdua saja. Dikatakan, bahwa penyakit
Johnsy sudah sulit disembuhkan.
“Satu-satunya kesempatan jika ia memiliki kemauan yang besar untuk
hidup,” kata dokter.
“Tapi rupanya dia tahu bahwa ajalnya sudah dekat. Aku akan melakukan
usaha sebaik mungkin. Namun kupinta kau pun berusaha agar dia memiliki kembali
semangat hidup yang tinggi. Bicaralah dengannya tentang pakaian musim dingin
yang baru, dan tentang piknik di hutan kayu musim semi nanti. Jika dia sudah
tertarik lagi dengan masa depannya, kesempatan sembuh semakin besar.”
Dokter pun meninggalkan ruangan.
Kemudian Sue masuk ke kamar Johnsy, dan mulailah membuat sket dengan pena dan
tinta.
Saat itulah Johnsy mengucapkan
sesuatu dengan suara lemah. Sue segera menghampirinya. Mata Johnsy terbuka
lebar. Dia memandang ke luar lewat jendela dan sedang menghitung sesuatu.
“Dua belas,”
gumam Johnsy, dan tak lama kemudian ia meneruskan,
“Sebelas, sepuluh……, Sembilan……, delapan……, tujuh……”
Sue memandang keluar dan melihat pada
tembok. Tembok itu terselimut dengan sebuah tanaman anggur tua tumbuh setengah
jalan ke atas.
“Enam,” kata
Johnsy beberapa saat kemudian.
“Kini mereka berguguran lebih cepat. Selama tiga hari terakhir hampir
seratus telah gugur. Dan kini hanya tinggal enam helai. Nah itu gugur yang
lain. Kini hanya tinggal lima helai saja.”
“Lima apa, Sayang? Jelaskan Johnsy.”
“Lima helai daun,” sahut Johnsy.
“Jika daun terakhir gugur, aku pun pasti mengikutinya. Dokter pasti telah
mengatakan kepadamu bahwa aku akan meninggal tak lama lagi, bukan?”
“Jangan bicara yang bukan-bukan!” geram Sue.
“Dia katakan bahwa kau akan sembuh secepatnya.”
“Itu satu gugur lagi,” ucap Johnsy.
“Aku tahu daun terakhir akan gugur sebelum senja hari. Aku ingin tahu
kapan dia akan gugur.”
“Johnsy,”
panggil Sue.
“Tutup matamu dan tidurlah. Aku akan pergi dan meminta Behrman agar naik
dan duduk disini sebagai modelku.”
Behrman adalah seorang pelukis miskin
yang telah berusia lewat 60 tahun. Dia selalu mengatakan bahwa suatu saat kelak
ia akan membuat sebuah karya lukisan agung. Saat Sue memasuki kamarnya,
terlihat si Tua itu minum sendirian. Dikisahkannya tentang Johnsy dan tentang
daun-daun pada pohon anggur.
“Apa!” seru
lelaki tua itu,
“Apakah orang akan meninggal hanya karena sehelai daun anggur dari
pohonnya? Aku tak pernah mendengar hal semacam itu. Bawa aku ke kamarnya.”
Johnsy sedang tidur tatkala kedua
orang itu masuk. Hujan yang dingin sedang tercurah, disertai salju.
Keesokan paginya, Johnsy meminta Sue
agar membuka tirai jendelanya, agar ia bisa melihat lagi daun daun di pohon anggur
itu. Masih terdapat sehelai daun kuning pada ujung sebuah cabangnya.
“Itulah helai daun terakhir,” kata Johnsy.
“Jika dia gugur hari ini, aku pun akan mengikutinya.”
Saat malam tiba, hujan pun turut lagi
disertai dengan angin topan.
Pagi berikutnya pun tiba, Sue
menyingkap tirai. Daun yang sendirian itu masih tegar pada tempatnya! Johnsy
memandangi beberapa saat lamanya. Kemudian berkatalah ia kepada Sue,
“Aku seorang yang tolol, Sue. Aku telah belajar dari dari daun tersebut,
bahwa sungguh keliru memutuskan untuk mati. Aku ingin sehat kembali dan bisa
melukis lagi.”
Dokter pun datang menengok Johnsy
pada sore harinya. Sue mengikutinya masuk ke dalam ruangan besar dan bertanya,
“Apakah Johnsy memiliki harapan sembuh?”
“Ya, tentu saja, karena perawatanmu yang baik,” sahut dokter.
“Aku mau turun. Di bawah ada seorang pasien. Namanya Behrman. Dia seorang
pelukis dan terkena pneumonia juga. Sakitnya parah. Tidak ada harapan sembuh
baginya. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.”
Saat Sue menjumpai dokter esok
harinya, berkatalah dokter,
“Rekanmu kini sudah lewat masa kritis. Yang dibutuhkannya hanya makanan
sehat dan perawatan. Kau telah merawatnya dengan baik.”
Pada malam harinya Sue mendatangi
ranjang Johnsy.
“Aku ada berita untukmu,” ucap Sue.
“Tuan Behrman meninggal karena pneumonia di rumah sakit hari ini.
Sakitnya hanya dua hari. Saat seseorang masuk ke kamarnya pada pagi hari
pertama, Behrman tergolek di sana masih dengan menggunakan sepatu. Sepatu dan
pakaiannya basah kuyup dan sedingin es. Tak seorang pun tahu penyebabnya.”
“Ooh, si Behrman yang malang!” teriak Johnsy.
“Lihatlah melalui jendela pada helai daun terakhir di tembok,” kata Sue.
“Kelihatannya mirip sehelai daun, bukan?”
“Mirip sehelai daun? Apa maksudmu?”
“Itulah karya agung Behrman. Saat helai daun terakhir gugur pada malam
harinya, dia melukiskan sehelai daun pada bekas tempatnya.”