Empat orang lelaki bersama-sama
melakukan perjalanan ke sebuah kota yang jauh. Seorang berkebangsaan Turki,
yang kedua orang Persia, yang ketiga orang Arab, dan yang keempat orang Yunani.
Tidak seorang pun memahami bahasa
rekannya. Namun demikian mereka merasa gembira karena bisa pergi bersama, sebab
pergi sendirian saat itu sangat berbahaya. Mereka saling berhubungan melalui
isyarat. Kadang – kadang mereka berusaha memperjelas maksud mereka dengan
menggambarkan sesuatu di pasir.
Namun lama-lama mereka sedih juga
karena mereka tidak bisa bercakap dengan bebas. Untung mereka bersua dengan
pengelana kelima, yang sama-sama hendak menuju ke kota yang sama. Orang itu
seorang Sufi, yaitu seorang pendeta dari suatu aliran kepercayaan tertentu.
Sufi itu mengetahui semua bahasa
rekan-rekannya. Keempat pengelana itu dengan senang hati mengajak Sufi
bergabung dengan mereka. Sufi itu pun gembira karena memperoleh teman. Mereka
terus melanjutkan perjalanan. Sufi itu menterjemahkan percakapan rekan-rekannya,
dan mereka pun kini bisa bercakap-cakap dengan bebas.
Pada suatu hari, pada saat mereka
memasuki pintu gerbang kota, Sufi itu pergi sendirian sebentar. Sore harinya
baru Sufi itu tiba kembali bergabung dengan mereka. Betapa kagetnya ketika dilihatnya
keempat rekannya saling bertengkar.
Mereka telah kehabisan seluruh bekal
uangnya. Yang tinggal hanya sekeping uang perak saja. Mereka bertengkar tentang
apa yang akan dibeli dengan uang itu.
“ Uzum, “ seru orang Turki,
“ Tidak, tidak, angur! “ sahut orang Persia,
“ Inab, “ ujar
orang Arab.
“ Stafil, “
sambung orang Yunani.
Sufi itu kemudian meminta uang perak
itu dan pergilah ia ke sebuah warung terdekat. Katanya kepada si penjual,
“Empat ikat anggur, Nyonya.”
Kemudian ia memberi kepada
masing-masing pengelana seikat buah anggur.
“ Uzum, “ kata orang Turki dengan gembira. Dengan muka berseri dirasakannya sebuah
anggur.
“ Angur, “
sahut orang Persia dengan puas.
“ Inab, “ kata
orang Arab sambil menunjuk pada buah-buah anggur.
“ Stafil, “ gumam orang Yunani, mulutnya berdecak-decak merasakan
nikmaynya buah yang dilahapnya.
Sufi itu menjelaskan,
“Teman-teman, apa yang kqalian butuhkan adalah benda yang sama. Namun
kalian menyebutnya dengan nama yang berbeda. Nah, mengapa kalian harus bertengkar
jika tidak tahu pasti apa yang dimaksudkan rekan-rekan kalian? Janganlah kalian
terburu nafsu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar