Di sebuah daerah permukiman di luar
kota, sedang dibangun sebuah rumah mewah. Rumah itu sudah hampir selesai.
Tinggal memasang daun-daun jendelanya saja.
Seorang saudagar yang sedang
berkelana di daerah itu, lewat di depan rumah mewah tersebut. Dia berhenti
untuk memperhatikan keindahan rumah tersebut.
“Pasti orang yang memilikinya seorang
pejabat tinggi,”
ujarnya sambil memandang pada sebuah lambang kerajaan di sebuah pintu.
Pada saat itu terlempar sebuah bata,
tepat mengenai punggung saudagar itu. Bata itu berasal dari bagian penopang
bingkai jendela.
“Aduh, punggungku sakit sekali!” seru saudagar itu.
Maka ia pun memanggil tukang kayu
yang memasang daun jendela dan memaki-makinya. Tukang kayu merasa dirinya tidak
bersalah.
“Bukan aku yang bersalah, Tuan.
Tetapi pemilik rumah. Aku ingin memperoleh keadilan!” ujar tukang kayu.
Maka tukang kayu mengajukan pemilik
rumah ke pengadilan. Hakim di kota itu konon seorang Hakim yang cerdik, serta
pintar memecahkan suatu persoalan. Namun terkadang hukuman yang dijatuhkan
tidak dipikirnya panjang. Tidak jarang Hakim menjatuhkan hukuman pada seseorang
yang tidak bersalah, namun semua itu harus dipatuhi seluruh warganya.
Sampai dihadapan Hakim, berlututlah
pemilik rumah, dan berkatalah ia mengiba ,
“Tuan Hakim, maafkanlah hamba. Namun
sebenarnya kejadian ini bukan kesalahan hamba. Sebenarnya adalah kesalahan
tukang batu yang memasang bata pada bagian penopang jendela.”
Maka Hakim memerintahkan menyeret
tukang batu ke pengadilan. Dengan muka membayangkan rasa takut, tukang batu
menghadap Hakim.
“Hai tukang batu, kecelakaan yang
menimpa saudagar adalah karena kesalahanmu. Kau tidak cermat memasang sebuah
bata penopang jendela. Nah, sebelum hukuman kujatuhkan, ucapkan sepatah dua
patah kata pembelaan,” ujar Hakim.
Tukang batu pun berlutut, dan
berkatalah ia,
“Yang Mulia, semua itu kesalahan
Fatimah yang pada pagi hari pada saat hamba memasang bata, muncul dengan gaun
warna merah menyala. Hamba terpesona akan kecantikannya. Oleh karena itu hamba
lupa merekat bata dengan adonan semen. Bata itu hamba tempel begitu saja, tanpa
penguat.”
Hakim kemudian menyuruh memanggil
Fatimah. Dengan masih memakai gaun merahnya yang menyala, Fatimah menghadap
Hakim. Sesaat Hakim terpukau melihat pemandangan di depannya. Hampir-hampir ia
tidak bisa mengucap sepatah kata pun, kalau tidak disenggol oleh ajudannya.
“Oh, oh, Fatimah……Hmmm, mengapa
engkau mengenakan gaun yang menyolok semacam itu? Bukankah hal itu akan
mengakibatkan keributan?”
“Yang Mulia, sebenarnya hamba kurang
senang dengan warna gaun ini. Hamba menginginkan warna kelabu, atau hijau muda,
seperti yang dipakai para wanita disini. Tetapi di toko persediaan warna itu
sudah habis. Yang ada tinggal warna merah saja,” sahut Fatimah.
Hakim pun tertawa mengakak, kemudian
ujarnya,
“Hmmm, jelas sekarang siapa yang
bersalah. Panggil pemilik toko kemari! Dia pantas mendapat hukuman berat!”
Dalam waktu singkat, pemilik toko
tiba di tempat itu. Lelaki itu bertubuh sangat jangkung. Pada waktu ditanya
Hakim mengapa dia menjual kain berwarna merah menyala, ia menjawab,
“Hamba telah memesan berbagai warna
kain dari sebuah usaha dagang Inggris, tetapi yang dikirim hanya warna merah
menyala saja.”
Mendengar kata “Inggris” , hakim
memuncak kemarahannya.
“Jadi kau telah bekerja sama dengan
penjajah Inggris !
Algojo ! Gantung pemilik toko ini di
ambang pintu tokonya, sebagai contoh agar bisa dilihat penduduk lain ! Inggris
adalah musuh kita. Mereka adalah penjajah tengik!”
Dua jam kemudian algojo kembali
dengan muka murung. Tanya Hakim,
“Apakah pemilik toko telah
meninggal?”
“Belum, Yang Mulia,” sahut algojo.
“Sosoknya tinggi dan sebaliknya pintu
tokonya sangat rendah. Kami telah mengikat lehernya ke tiang gantungan. Tetapi
celaka, kakinya masih menginjak tanah, jadi sampai sekarang ia masih hidup.”
“Kalau begitu cepat cari seseorang
yang bertubuh pendek sebagai gantinya!” seru Hakim, dan perintahnya memang harus dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar