Jumat, 12 Mei 2017

KEPUTUSAN HAKIM

Di sebuah daerah permukiman di luar kota, sedang dibangun sebuah rumah mewah. Rumah itu sudah hampir selesai. Tinggal memasang daun-daun jendelanya saja.

Seorang saudagar yang sedang berkelana di daerah itu, lewat di depan rumah mewah tersebut. Dia berhenti untuk memperhatikan keindahan rumah tersebut.

“Pasti orang yang memilikinya seorang pejabat tinggi,” ujarnya sambil memandang pada sebuah lambang kerajaan di sebuah pintu.

Pada saat itu terlempar sebuah bata, tepat mengenai punggung saudagar itu. Bata itu berasal dari bagian penopang bingkai jendela.

“Aduh, punggungku sakit sekali!” seru saudagar itu.

Maka ia pun memanggil tukang kayu yang memasang daun jendela dan memaki-makinya. Tukang kayu merasa dirinya tidak bersalah.

“Bukan aku yang bersalah, Tuan. Tetapi pemilik rumah. Aku ingin memperoleh keadilan!” ujar tukang kayu.

Maka tukang kayu mengajukan pemilik rumah ke pengadilan. Hakim di kota itu konon seorang Hakim yang cerdik, serta pintar memecahkan suatu persoalan. Namun terkadang hukuman yang dijatuhkan tidak dipikirnya panjang. Tidak jarang Hakim menjatuhkan hukuman pada seseorang yang tidak bersalah, namun semua itu harus dipatuhi seluruh warganya.

Sampai dihadapan Hakim, berlututlah pemilik rumah, dan berkatalah ia mengiba ,

“Tuan Hakim, maafkanlah hamba. Namun sebenarnya kejadian ini bukan kesalahan hamba. Sebenarnya adalah kesalahan tukang batu yang memasang bata pada bagian penopang jendela.”

Maka Hakim memerintahkan menyeret tukang batu ke pengadilan. Dengan muka membayangkan rasa takut, tukang batu menghadap Hakim.

“Hai tukang batu, kecelakaan yang menimpa saudagar adalah karena kesalahanmu. Kau tidak cermat memasang sebuah bata penopang jendela. Nah, sebelum hukuman kujatuhkan, ucapkan sepatah dua patah kata pembelaan,” ujar Hakim.

Tukang batu pun berlutut, dan berkatalah ia,

“Yang Mulia, semua itu kesalahan Fatimah yang pada pagi hari pada saat hamba memasang bata, muncul dengan gaun warna merah menyala. Hamba terpesona akan kecantikannya. Oleh karena itu hamba lupa merekat bata dengan adonan semen. Bata itu hamba tempel begitu saja, tanpa penguat.”

Hakim kemudian menyuruh memanggil Fatimah. Dengan masih memakai gaun merahnya yang menyala, Fatimah menghadap Hakim. Sesaat Hakim terpukau melihat pemandangan di depannya. Hampir-hampir ia tidak bisa mengucap sepatah kata pun, kalau tidak disenggol oleh ajudannya.

“Oh, oh, Fatimah……Hmmm, mengapa engkau mengenakan gaun yang menyolok semacam itu? Bukankah hal itu akan mengakibatkan keributan?”
“Yang Mulia, sebenarnya hamba kurang senang dengan warna gaun ini. Hamba menginginkan warna kelabu, atau hijau muda, seperti yang dipakai para wanita disini. Tetapi di toko persediaan warna itu sudah habis. Yang ada tinggal warna merah saja,” sahut Fatimah.

Hakim pun tertawa mengakak, kemudian ujarnya,

“Hmmm, jelas sekarang siapa yang bersalah. Panggil pemilik toko kemari! Dia pantas mendapat hukuman berat!”

Dalam waktu singkat, pemilik toko tiba di tempat itu. Lelaki itu bertubuh sangat jangkung. Pada waktu ditanya Hakim mengapa dia menjual kain berwarna merah menyala, ia menjawab,

“Hamba telah memesan berbagai warna kain dari sebuah usaha dagang Inggris, tetapi yang dikirim hanya warna merah menyala saja.”

Mendengar kata “Inggris” , hakim memuncak kemarahannya.

“Jadi kau telah bekerja sama dengan penjajah Inggris !
Algojo ! Gantung pemilik toko ini di ambang pintu tokonya, sebagai contoh agar bisa dilihat penduduk lain ! Inggris adalah musuh kita. Mereka adalah penjajah tengik!”

Dua jam kemudian algojo kembali dengan muka murung. Tanya Hakim,

“Apakah pemilik toko telah meninggal?”
“Belum, Yang Mulia,” sahut algojo.
“Sosoknya tinggi dan sebaliknya pintu tokonya sangat rendah. Kami telah mengikat lehernya ke tiang gantungan. Tetapi celaka, kakinya masih menginjak tanah, jadi sampai sekarang ia masih hidup.”

“Kalau begitu cepat cari seseorang yang bertubuh pendek sebagai gantinya!” seru Hakim, dan perintahnya memang harus dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar